Atas kehendak-Nya lah saya dapat merasakan suasana yang berbeda di benua kangguru. Saya Janu Muhammad, mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Yogyakarta. Pada tanggal 6-25 November 2014 kemarin saya diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan homestay di Brisbane, Queensland, Australia. Saya mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta bersama 8 delegasi lainnya yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia. Kegiatan homestay ini adalah tahapan akhir dari seleksi Gerakan Mari Berbagi yang sering disebut GMB selama satu tahun yang dimulai sejak bulan September 2013. GMB adalah sebuah NGO yang mempunyai misi menumbuhkan nilai berbagi dan membentuk karakter baik para pemimpin muda untuk masa depan Indonesia.

Bris1

Janu tinggal di Brisbane selama tiga minggu. Foto: Indah Rastika Sari

Hal berkesan yang membedakan program GMB dengan forum kepemimpinan lainnya adalah ketika mengikuti Youth Adventure, setiap orang diberikan bekal uang Rp 100.000,00 untuk hidup 3 hari 2 malam. Saya mendapat rute dari Jogja-Magelang-Banjarnegara-Jakarta bersama rekan dari Aceh dan Sulawesi. Uang tersebut harus cukup, tidak diperkenankan memakai uang pribadi ataupun menghubungi keluarga. Di Kota Magelang, kami mempunyai misi ibarat tangan di bawah yang cenderung menerima bantuan (seperti pengemis), dan di Banjarnegara kami sebagai seorang pemberi (penderma). Kegiatan ini bertujuan untuk membentuk karakter pemimpin untuk lebih banyak memberi daripada meminta serta menumbuhkan kepedulian sosial terhadap sesama.

Program homestay diikuti oleh 9 delegasi ke Australia dan 6 delegasi ke Jepang, yang semuanya adalah pemuda terpilih dan di atas rata-rata yang telah mampu membuat sebuah perubahan untuk lingkungan di sekitarnya. Tujuan dari homestay ini sendiri adalah untuk mengenal lingkungan baru, belajar memahami toleransi, merasakan cross cultural understanding di Australia maupun Jepang, memperkenalkan GMB sebagai representasi gerakan pemuda di Indonesia, serta menambah jaringan internasional di luar negeri. Saya tinggal di 22 Elgata Street, The Gap, Queensland bersama keluarga Gwenda Spencer, seorang aktivis sosial masyarakat. Saya pun melakukan berbagai aktivitas seperti mengajar Bahasa Indonesia di Ferny Grove State High School, mengeksplorasi berbagai tempat di Brisbane seperti : South Bank, Holland Park Mosque, State Library of Queensland, Brisbane River, Byron Bay di New South Wales dan berbagai tempat menarik lainnya.

Kota Brisbane sungguh indah dan menjadi kenangan yang tidak akan terlupakan. Saya melihat kondisi kota Brisbane yang teratur dari segi transportasinya, kebersihan lingkungannya, tata ruang kota yang rapi, masyarakatnya yang open minded dan friendly. Saya pun menyempatkan diri untuk mengunjungi University of Queensland serta bertemu dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia. Kami berdiskusi dan mengadakan BBQ di Parkland, South Bank dan mendengar sapaan saudara Ahmad Almaududy Amri, ketua PPI Australia (PPIA) sekaligus Presidium PPI Dunia. Para pengurus PPIA ini sekaligus mengadakan evaluasi terkait keikutsertaan dalam kegiatan G20 Summit pada tanggal 15-17 November 2014 yang turut hadir presiden Joko Widodo bersama para pemimpin negara lainnya.

Bagi saya, perjalanan kedua ke luar negeri setelah tahun 2013 ke Belanda memberikan banyak pembelajaran yang dapat membentuk karakter diri. Saya merasakan budaya baru ketika tinggal bersama host family, mulai dari pola makan, kehidupan sosial, sampai dengan pentingnya pendidikan di negara maju seperti Australia. Budaya westernisasi yang kental mengharuskan saya untuk beradaptasi dengan budaya timur yang saya bawa, tentunya dengan memilah mana yang perlu diambil atau tidak. Gaya hidup di Australia, mulai dari konsumsi makanan, kehidupan sehari-hari di tempat umum, maupun cara orang Australia beraktivitas memberikan efek baru bahwa saya perlu mengambil pelajaran baik tentang disiplin waktu, etos kerja, toleransi, dan menerima keberagaman budaya.

Masyarakat di Brisbane yang mau menerima penduduk baru baik dari Asia, Amerika, Eropa, maupun Afrika menjadikan kota ini sebagai kota multicultural, seperti kota saya Yogyakarta. Dari toleransi agama, saya belajar makna menghargai perbedaan. Saya pun bertanya dalam hati, “Bukankah di Indonesia justru lebih multikultural ya? Mengapa masih sering terjadi konflik?” Saya pun teringat ketika bertemu Pak Ali di masjid Brisbane, WNI yang sudah 40 tahun hidup di Brisbane. Ketika saya bertanya, “Apa membuat Bapak betah untuk tinggal di sini ?” Beliau menjawab, “Saya merasa nyaman mas di sini, jiwa dan hati saya tenang ketika beribadah, berbeda ketika saya di Indonesia.” Beliau mengungkapkan ketenangan batin yang didapatkan selama tinggal di Brisbane, tidak khawatir akan kriminalitas ataupun gangguan lainnya. Beliau mencontohkan, ketika parkir mobil di depan rumah pun sama sekali tidak khawatir akan adanya pencurian. “Asal kita berbuat baik dan taat aturan, pasti tidak akan ada orang yang mengganggu kita mas,” imbuh beliau.

Sepulang dari program homestay ini, saya ingin membagikan pengalaman yang didapat kepada keluarga, rekan-rekan di kampus maupun masyarakat yang akan saya temui agar sedikit pengalaman ini akan bermanfaat. Ada pelajaran berharga ketika di Australia kami harus menjadi duta Indonesia, mengenalkan segala potensi dan budayanya. Saya pun berharap agar para pemuda lainnya siap menjadi bagian dari peserta homestay selanjutnya dengan turut bergabung di kegiatan GMB 2015. Terimakasih atas segala doa dan dukungan semua pihak. Salam berbagi!

GMB1

Janu mengikuti program Gerakan Mari Berbagi. Foto: Janu Muhammad