Setiap orang bisa memiliki mimpi tapi bagaimana jika mimpi itu kandas di tengah jalan? Bagaimana ketika jalan hidup berkata lain? Inilah suatu hal yang bisa terjadi di dalam hidup setiap manusia dan diangkat oleh Sutradara Adriyanto Dewo ke layar lebar dengan judul “Tabula Rasa”. Tabula Rasa sendiri dapat diartikan sebagai kembalinya manusia ke titik nol karena setiap manusia telahir ke dunia bagaikan kertas yang kosong.

Tabula Rasa ditayangkan pada tanggal 15 April di ACMI. Foto: IFF Website

Tabula Rasa ditayangkan pada tanggal 15 April di ACMI. Foto: IFF Website

Film ini menceritakan tentang Hans, seorang pemuda yatim-piatu Papua yang memiliki bakat bermain sepak bola dan bermimpi untuk menjadi pemain sepak bola profesional yang terkenal. Kesempatan datang ketika Hans diminta untuk begabung dengan klub sepak bola di Jakarta. Hans meninggalkan tanah kelahirannya dan berangkat ke Jakarta untuk meraih impiannya. Sebelum mimpi itu terwujud, Hans harus menelan kenyataan pahit bahwa dia tidak bisa lagi bermain akibat menderita cidera parah pada kakinya. Ironisnya, klub sepak bola yang menjadi tumpuan harapannya tidak mengacuhkan Hans dan mengeluarkan dia sebagai pemain reguler. Merasa dibuang; malu; dan tidak lagi memiliki tujuan hidup di tengah kerasnya kehidupan Ibu kota, Hans pun menyerah dan merasa ingin bunuh diri, tapi nasib membawa Hans ke jalan lain. Hans dipertemukan dengan Mak, seorang wanita paruh baya pemilik warung makan Padang sederhana di daerah pinggiran Jakarta yang juga memiliki kisahnya sendiri.

Pertemuan itu membuka lembaran baru dalam perjuangan Hans meraih impiannya di Jakarta. Bukannya berjuang di lapangan sepak bola dan menjadi pemain sepak bola terkenal, Hans malah harus memutar balik jalan hidupnya dengan bekerja di rumah makan padang milik Mak dan membantu menjadi juru masak. Kisah pun mencapai klimaks ketika terjadi konflik diantara para tokohnya dan bagaimana Hans harus berjuang untuk membantu rumah makan Padang yang telah menjadi rumah dan keluarganya di Jakarta keluar dari ancaman kebangkrutan.

Jika biasanya film-film Indonesia banyak yang mengangkat budaya Jawa, kali ini “Tabula Rasa” menawarkan sisi yang berbeda. Film ini mengangkat perpaduan budaya Minang dan Papua, dari barat Indonesia ke timur Indonesia dan bagaimana para tokohnya yang memiliki latar budaya berbeda hidup bersama di dalam satu atap. Masakan Padang yang diangkat ke dalam film ini pun menjadi sebuah kisah paralel yang mendalami cerita-cerita pribadi setiap karakter. Tidak hanya mengangkat mengenai perpaduan budaya dan kisah hidup para tokohnya, film ini juga menyelipkan kisah tentang kehidupan orang perantauan yang rindu akan kampung halaman serta memanjakan mata para penonton dengan visualisasi indahnya alam Papua dan aneka masakan padang yang menggiurkan.

Sutradara film dan Dewi Irawan, pemeran Mak pun mendapatkan banyak lontaran pertanyaan baik dari panitia penyelenggara maupun para penonton yang tidak hanya terdiri dari orang Indonesia tapi juga penduduk Australia yang tertarik terhadap budaya dan film Indonesia. Ketika ditanya mengapa Adriyanto Dewo tertarik menyutradari film ini, Adriyanto menjawab bahwa selain naskah film yang bagus, cerita film ini juga membangkitkan kerinduannya tentang daerah asalnya, walaupun sudah lama tinggal di Jakarta, Adriyanto mengaku bukanlah asli orang Jakarta. Adriyanto juga menambahkan, pemilihan masakan padang yang diangkat ke dalam film juga dikarenakan masakan padang yang sudah sangat dikenal di Indonesia, dan rumah makan padang pun mudah dijumpai di setiap kota di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Tabula Rasa adalah sebuah film dengan cerita sederhana yang bisa terjadi di dalam kehidupan dan dikemas dengan sangat menarik oleh sang sutradara. Banyak pesan positif yang dapat diambil dari film ini, film ini juga diselipkan dengan unsur humor ringan yang dapat menggelitik perut penonton sehingga penonton bisa lebih menikmati dengan santai jalannya alur film. Didukung para pemain yang menampilkan performa akting prima, dan ditutup dengan ending yang membangkitkan rasa penasaran penonton, tidak salah jika film ini mendapat sambutan baik setelah pemutarannya dalam Indonesian Film Festival di Australian Centre for the Moving Image (ACMI), Melbourne pada hari Rabu (15/04) malam.

Nobar AIYA (Australian-Indonesian Youth Association) Victoria

Asosiasi Pemuda Australia – Indonesia Victoria memanfaatkan momen Indonesian Film Festival ke- 10 dengan mengadakan acara Nobar (nonton bareng) “Tabula Rasa” dengan para anggotanya. Walaupun tidak semua anggota AIYA Victoria dapat menghadiri acara itu, tapi acara nonton bareng mendapat sambutan hangat dari para anggota. Banyak anggota AIYA Victoria dari Indonesia maupun Australia yang hadir pada Rabu malam lalu untuk melihat film bersama.

Anggota AIYA Victoria bersama aktris Dewi Irawan usai menonton film Tabula Rasa. Foto: Australia Plus Indonesia.

Anggota AIYA Victoria bersama aktris Dewi Irawan usai menonton film Tabula Rasa. Foto: Australia Plus Indonesia.

Penyelenggaraan acara nonton bareng pemutaran film Indonesia, Tabula Rasa yang banyak mengangkat budaya Indonesia menjadi suatu hal yang menarik. Para anggota AIYA yang berasal dari Australia dapat belajar mengenai kebudayaan dan berbagai bahasa serta dialek lokal di Indonesia melalui film, sedangkan para anggota AIYA dari Indonesia dapat melampiaskan kerinduan akan tanah air, bahkan beberapa anggota AIYA dari Indonesia menjadi ingin memakan makanan padang seusai pemutaran film. Acara Nobar pun ditutup dengan foto bersama dengan pemain Tabula Rasa dan makan malam bersama dengan sesama anggota.

Disunting: Aris Huang