Bekerja pada media asal Australia membuat banyak kawan mengira, saya acapkali wara-wiri ke negeri kanguru untuk urusan tugas. Nyatanya? Tak pernah saya injakkan kaki ke benua- yang konon diklaim sebagai penemuan Kapten James Cook – ini sama sekali. Hingga saya mendengar CAUSINDY setahun lalu.

Nurvina bersama kawan-kawan di Northern Territory. Foto: Nurvina Savitri

Nurina bersama kawan-kawan di Northern Territory. Foto: Nurina Savitri

Bukan hanya karena iming-iming pertemanan yang luas, tapi saya begitu yakin, hubungan orang per orang adalah fondasi terkuat dari pertalian dua negara manapun. Dan saya ingin ambil bagian di dalamnya, sembari menduga hal itu bisa saya wujudkan di CAUSINDY.

Ternyata dugaan saya benar. Sejak hari pertama program kami di Darwin (nasib baik membawa saya menjadi salah satu delegasi Indonesia di CAUSINDY 2015), saya mulai belajar mengenal warga Australia dalam berbagai rupa. Warga Australia tanpa campuran, warga Australia berdarah Aborijin, warga Australia berdarah Batak, hingga warga Australia berdarah Bali yang cakap berbahasa Indonesia dengan logat Bali!- keragaman ternyata tak mutlak milik Indonesia.

Di hari pertama itu, kami mendengar beberapa pakar berbicara. Bagi saya, pemaparan mereka adalah cakrawala yang membukakan mata. Saya tahu bahwa suku asli Australia adalah Aborijin, saya tahu ciri fisik mereka serupa dengan saudara-saudara di Papua, saya tahu mereka masih berjuang dengan persamaan hak di negaranya, tapi yang tak saya tahu…mereka telah menjalin hubungan dengan bangsa Indonesia, bahkan sebelum kedatangan Kapten James Cook ke Australia!

Akhirnya saya teringat akan cerita tentang Batik Yirrkala yang terinspirasi oleh lukisan kulit kayu seniman Aborijin dan dibuat oleh pengrajin batik Pekalongan, Jawa Tengah. Dari keterangan yang saya dengar waktu itu, batik ini menggambarkan hubungan warga Aborijin di Arnhem Land dengan warga Makassar di masa lalu. Motif segitiga yang mendominasi Batik Yirrkala adalah simbol layar kapal orang-orang Makassar yang diabadikan warga Aborijin dalam pahatan seni mereka.

Batik Yirrkala sangat unik bagi Nirvina. Foto: Nirvina Savitri

Batik Yirrkala dibuat oleh orang Aborijin. Foto: Nurina Savitri

Ketika delegasi CAUSINDY berkesempatan mengunjungi Museum Northern Territory di hari pertama itu, saya melihat kecocokannya pada lukisan masyarakat Aborijin yang terpajang di dinding museum. Walau dilukis dengan berbagai motif, saya masih melihat banyak bentuk segitiga di berbagai lukisan mereka.

Belum lagi soal kesamaan bahasa. Ada beberapa bahasa Aborijin yang memiiki kemiripan bunyi dengan bahasa Indonesia. Sebut saja ‘rupiah’ untuk menyebut uang.

Keterkejutan saya tak berhenti sampai di situ. Masih di hari pertama, saya pun belajar betapa industri mutiara Australia di masa lalu, banyak mendapat campur tangan dari orang Macassan (orang-orang Makassar, Bugis, Bajoe, Rote dan Indonesia Timur lainnya). Bekerja sama dengan masyarakat Aborijin, mereka kompak membangun salah satu denyut nadi perekonomian Australia kala itu.

Bahkan, sebagai hasil dari pertalian dua bangsa ini, banyak di antara mereka yang kemudian terikat pernikahan, beranak-pinak dan lantas tak pernah kembali ke kampung halaman. Contoh dari cerita ini bisa kita temukan di kota Broome, Australia Barat. Hingga saat ini, masih ada komunitas keluarga mantan penambang mutiara dengan nama-nama Indonesia.

Ketika saya dan teman-teman delegasi mengunjungi tanah adat Aborijin- satu jam dari Darwin –pada hari berikutnya, saya jadi semakin tahu betapa suku asli ini benar-benar terbuka dengan bangsa pendatang. Tak hanya merujuk pada kontak mereka dengan orang Macassan, hingga sekarang-pun, kita bisa melihat begitu banyak keluarga Aborijin yang memiliki darah campuran.

Warga Aborijin yang tanahnya saya datangi waktu itu bercerita bahwa ibunya adalah keturunan China yang menikah dengan ayahnya, warga asli utara Australia. Sementara neneknya asli dari China daratan. Lalu ia sendiri menikah dengan orang Irlandia, bayangkan…berapa unsur bangsa yang terwariskan pada keturunan mereka?

Belakangan, saya dengar dari salah seorang peneliti bahwa Darwin adalah salah satu kota di Australia yang paling heterogen sejak dahulu kala. Dan masih ada keturunan Aborijin-Indonesia sejak zaman pelayaran orang Macassan, yang masih tersisa.

Lantas mengapa pertalian ini tak terus menjadi pengingat hubungan kita di zaman serba-media sosial?

Hubungan bilateral, bagi saya, tak hanya soal politik dan ekonomi. Keduanya memang dominan, dan saya tak sedang membantah urgensi keduanya. Hanya saja keberlangsungan sebuah hubungan tak akan berhasil tanpa campur tangan ‘hati manusia’ di dalamnya.

Naluri dasar kemanusiaan selalu merindukan hadirnya kerjasama, walau bisa ditempuh dengan berbagai cara, termasuk selisih paham dan pertumpahan darah. Tapi jika kita berpegang pada ‘hati manusia’, semua badai yang datang bisa teratasi walau kita melewatinya dengan terengah-engah bahkan mungkin harus karam lebih dulu.

Semua proses tumbuh dimulai dari akar, akar merambat ke batang, berkembang menjadi dahan, tumbuh daun, dan lantas berbuah. Tak akan ada buah jika tak ada akar. Mengapa kita tak kembali ke akar untuk mencapai buah hubungan di masa depan?