Sisca Rudy baru menyelesaikan Bachelor of Arts di Universitas Indonesia. Sisca tertarik untuk belajar tentang Australia karena hubungan erat di antara Indonesia dan Australia. Mulai dari awalnya, Australia selalu mempunyai hubungan unik dengan Indonesia. Ini bisa dilihat dengan bagaimana Australia ikut membantu Indonesia memblokade kapal Belanda dari docking di pelabuhan Australia ketika Indonesia sedang dibombardir dan diserang setelah akhir Perang Dunia II. Sisca mengatakan bahwa banyak sarjana Australia bersedia mempelajari sejarah Indonesia, tetapi hanya beberapa sarjana Indonesia yang ingin mempelajari sejarah Australia. Sisca mempercayai bahwa belajar Australian Studies, budaya dan sejarah, sebagai cara untuk membuka pemahaman yang lebih baik antara kedua negara dan bagaimana kita saling bisa bekerja sama di masa depan dalam menghilangkan prasangka dan setiap rintangan diplomatik lainnya. Inilah sebuah esai ditulis Sisca mengenai sejarah Eddie Mabo dan native title di Australia.

Eddie Mabo. Foto: The Herald Sun

Klaim bangsa Inggris atas benua Australia sebagai koloni, membuat Australia dan penghuninya menjadi subjek dari hukum Inggris. Hukum Inggris memberlakukan sistem Crown Land yang menyatakan bahwa seluruh tanah di benua Australia adalah properti dari Kerajaan Inggris. Penerapan hukum ini dilatarbelakangi oleh penaklukan raja-raja Anglo-Saxon di Inggris oleh seorang duke dari Normandy, Perancis, yang bernama William di tahun 1066. Berdasarkan penaklukan tersebut, seluruh wilayah tanah dan kekuasaan para raja Anglo-Saxon secara mutlak menjadi miliknya. Penerapan sistem Crown Land serta pandangan bahwa benua Australia adalah terra nullius (sebuah konsep dalam bahasa Latin yang berarti tanah tidak bertuan) membuat Kerajaan Inggris bebas menggunakan tanah di Australia tanpa menghiraukan hak kepemilikan penduduk asli.

Setelah mengetahui bahwa Australia memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, Pemerintah Kolonial berpendapat bahwa bangsa Aborigin merupakan kumpulan orang-orang yang sangat berbahaya sehingga mereka harus dipisahkan dan ditempatkan jauh dari pemukiman bangsa Eropa. Sejak saat itu, sebelum adanya Referendum di tahun 1967, orang Aborigin dan penduduk Kepulauan Selat Torres sebagai penduduk asli Australia, tidak pernah diakui secara sah sebagai warga negara.

Meluasnya pengaruh televisi dalam komunitas-komunitas Aborigin membantu mereka mengakses berita dari dunia luar mengenai pergerakan-pergerakan rakyat berkulit hitam seperti di Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Berdasarkan hal tersebut, mulailah berkembang suatu ide untuk melakukan pergerakan dengan tujuan mengklaim kembali tanah milik nenek moyang mereka yang nantinya dikenal dengan nama land rights. Klaim land rights pertama yang diajukan oleh penduduk asli berasal dari klan Aborigin Yolngu di Arnhem Land, Northern Territory. Mereka mengajukan tuntutan legal melawan Nabalco Pty. Ltd (sebuah perusahaan pertambangan bauksit) ke Supreme Court of Northern Territory di tahun 1970. Namun tuntutan ini kalah karena tidak adanya bukti yang bisa menunjukkan keterkaitan klan Aborigin Yolngu baik secara materi maupun religi terhadap tanah yang diklaim.

Kekalahan ini terus berlanjut hingga dua belas tahun kemudian, seorang Penduduk Kepulauan Selat Torres dari Pulau Murray yang bernama Eddie Mabo, mengajukan klaim atas tanah yang secara turun-temurun dimiliki keluarganya, di Desa Las, Pulau Murray. Berbeda dengan kerabatnya di Pulau, Mabo tumbuh dengan memahami pentingnya berbahasa Inggris dan mempelajari situasi politik dan hukum terkait penduduk asli di Australia. Dibantu oleh rekan-rekan akademisi di James Cook University dan tim pengacaranya, Mabo mengajukan tuntutannya ke High Court of Australia di tahun 1982.

Tuntutan Mabo didasari oleh klaim yang menyatakan bahwa Kepulauan Selat Torres bukan merupakan subjek dari Crown Land, karena penduduknya masih memiliki independensi untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti sebelum kedatangan bangsa Eropa. Sebaliknya, Pemerintah Queensland berargumen bahwa Kepulauan Selat Torres merupakan subjek dari Crown Land dan penduduknya tidak memiliki hak kepemilikan tanah secara legal di tanah tersebut. Perlu diketahui bahwa jalur sejarah yang dilalui oleh bangsa Aborigin sedikit berbeda dengan apa yang dialami oleh Penduduk Kepulauan Selat Torres. Apabila orang-orang Aborigin menjadi subjek dari praktek hukum Australia yang mengharuskan mereka meninggalkan tanah tradisional untuk pindah ke wilayah reservasi, penduduk Kepulauan Selat Torres tidak pernah menjadi subjek dari penerapan hukum tersebut. Selain itu, tidak seperti gaya hidup Aborigin yang merupakan hunter-gatherer, penduduk Kepulauan Selat Torres merupakan gardener dan fishermen.

Dua laki-laki Selat Torres, yang memakai tombak memancing Eddie Mabo dan Jack Wailu di pulau Mer di dalam pulau Selat Torres. Foto: National Archives of Australia

Dua laki-laki Selat Torres, yang memakai tombak memancing Eddie Mabo dan Jack Wailu di pulau Mer di dalam pulau Selat Torres. Foto: National Archives of Australia

Selain itu, Pemerintah Kolonial Inggris mengkhususkan Kepulauan Selat Torres sebagai wilayah reservasi penduduk asli Australia. Jika dianalisis, hal ini tidak semata-mata dilakukan untuk melindungi para penduduk asli, namun juga untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka di perairan Selat Torres yang kaya akan hasil laut seperti mutiara. Peraturan Pemerintah Kolonial ini juga mengatur bahwa izin tinggal di Selat Torres hanya untuk misionaris dan guru. Jika penempatan orang Aborigin ke wilayah reservasi berakibat kepada pemutusan hubungan tradisional mereka terhadap tanah, Penduduk Kepulauan Selat Torres mendapatkan hak ekslusif untuk tetap melakukan aktivitasnya selama hal tersebut tidak menganggu peraturan dari Pemerintah. Hal ini kemudian menjadi salah satu hal penting dalam argumentasi Mabo di High Court of Australia.

Sadar akan peluang Mabo untuk menang cukup besar, Pemerintah Negara Bagian Queensland kemudian mengeluarkan Queensland Coast Islands Declaratory Act (1985) yang menyebutkan pengahapusan segala macam bentuk dari hak tradisional penduduk asli yang selamat dari aneksasi wilayah Selat Torres oleh Kerajaan Inggris di tahun 1878. Manuver ini bertujuan untuk mematahkan argumentasi serta klaim Mabo. Tim kuasa hukum Mabo kemudian kembali mengajukan tuntutan ke High Court of Australia yang menyatakan keberatannya atas kebijakan Queensland tersebut. Hal fundamental yang mendasari tuntutan Mabo kali ini adalah argumentasi bahwa kebijakan Queensland itu telah bertentangan dengan Racial Discrimination Act (1975) yang dikeluarkan oleh Commonwealth of Australia sebagai jawaban dari Pemerintah Australia atas kritik yang disampaikan oleh dunia internasional khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka.

Konstitusi Australia sendiri mengatur bahwa Negara Bagian dan Wilayah Teritorial di Australia memiliki otonomi dan independensi untuk mengatur wilayahnya sendiri selama kebijakan yang mereka keluarkan tidak bertentangan dengan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Persemakmuran. Dengan adanya sorotan dunia internasional dan juga hukum yang menyatakan bahwa Queensland Coast Islands Declaratory Act (1985) bertentangan dengan Racial Discrimination Act (1975), High Court of Australia di tahun 1988 memenangkan tuntutan Mabo atas keberatan yang diajukannya atas kebijakan Queensland tersebut. Kemudian di tahun 1992, melihat bukti-bukti yang diberikan oleh tim Mabo sangat valid dan tidak terbatas hanya pada kesaksian lisan saja, enam dari tujuh juri di High Court memenangkan klaim Mabo dan penuntut lainnya atas hak tanah mereka di Pulau Murray. Putusan yang akan dikenal dengan nama Mabo Decision ini memberikan perubahan bagi alur sejarah Australia yang tadinya mempercayai bahwa Australia berstatus terra nullius dan pemikiran bahwa penduduk asli tidak memiliki hak apapun.

Le-Ri: Dave Passi, Eddie Mabo, Bryan Keon-Cohen dan James Rice di luar Queensland Supreme Court pada 1989. Foto: Australian National University Press

Le-Ri: Dave Passi, Eddie Mabo, Bryan Keon-Cohen dan James Rice di luar Queensland Supreme Court pada 1989. Foto: Australian National University Press

Pemerintahan Australia yang saat itu dipimpin oleh Perdana Menteri Paul Keating dari Partai Buruh yang sangat pro terhadap hak penduduk asli, merespon dengan tekad untuk menjadikan Mabo Decision sebagai undang-undang legislatif. Ketika rancangan undang-undang (RUU) diperkenalkan ke Senat, Negara Bagian Victoria dan Western Australia tidak setuju. Bagi Western Australia, kebijakan ini akan berdampak buruk bagi perekonomian mereka yang dititikberatkan pada penambangan yang dilakukan di atas tanah tradisional penduduk asli. Hal serupa juga diutarakan oleh para petani dan peternak Australia yang khawatir kontrak sewa mereka akan dihentikan terkait klaim penduduk asli. Oleh karena itu, pihak Oposisi Partai Liberal sangat menentang kebijakan ini.

Sebesar apapun penolakan yang diberikan berbagai pihak terhadap RUU tersebut, Keating berhasil mengatasinya dengan mengadakan pertemuan bersama pihak perusahaan tambang, petani, peternak, dan juga perwakilan dari komunitas penduduk asli guna merevisi RUU Mabo agar bisa diterima secara damai. Di tahun 1993, akhirnya RUU tersebut disahkan dengan nama Native Title Act (1993). UU tersebut mengakui dan melindungi hak tradisional penduduk asli seperti akses atas tanah dan air, serta kebebasan bagi mereka untuk melakukan upacara-upacara tradisional. Nantinya Native Title Act (1993) ini juga akan mendukung basis bagi penduduk asli untuk mengajukan land rights ke High Court of Australia. Paul Keating sendiri dalam pidatonya mengatakan bahwa bangsa Aborigin telah lama menderita akibat perlakuan bangsa Eropa kepada mereka. Ini merupakan momentum bagi Australia untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka benar-benar suatu negara multikultur.

Kasus Mabo berhasil menetapkan jalur atau sistem bagi penduduk asli lainnya yang ingin mengajukan tuntutan hukum ke pengadilan atas hak tanah mereka. Sistem ini pun dilindungi oleh undang-undang sehingga memiliki kekuatan hukum yang sangat besar. Hal ini dapat dijadikan pembelajaran bagi Indonesia dalam menyikapi tuntutan tanah dari penduduk asli. Menurut data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Indonesa, tercatat bahwa dari 5.000 pengaduan atas pelanggaran HAM di tahun 2014, 1.300 aduan di antaranya mengenai masalah agraria dan land dispute. Penduduk asli di Indonesia, seperti suku Dayak Paser di Kalimantan pada umumnya tidak memiliki surat serta sertifikat kepemilikan tanah menurut sistem hukum modern sehingga mereka tidak berhak menuntut hak tersebut ke pengadilan. Untuk itulah, diperlukan suatu sistem yang dapat mewadahi pengaduan para penduduk asli di Indonesia agar dapat menikmati hak tradisional atau native title mereka, seperti yang dinikmati oleh penduduk asli di Australia.