Andrei Febrian lulusan Universitas Dipenogoro tahun 2013, Fakultas Sains dan Matematika, Jurusan Biologi. Memiliki ketertarikan tentang isu yang terkait dengan lingkungan hidup. Ketertarikannya yang kuat terhadap isu lingkungan hidup membuatnya menulis artikel tentang dampak bencana kebakaran hutan yang berakibat bencana kabut asap yang merugikan berbagai pihak. Dari sisi lingkungan hidup bencana kabut asap menelan kerugian yang tidak sedikit, diantaranya merebaknya penyakit saluran pernafasan bagi masyarakat sekitar dan tentunya dampak ekologis yang terjadi kualitas udara memburuk karena hutan sebagai penyuplai oksigen dan daerah resapan air berkurang. Penulis berharap dengan adanya artikel tersebut dapat memberikan wawasan bagi pembaca tentang penyebab dan akibat kebakaran hutan sehingga kita dapat lebih arif dalam mengelola lingkungan sekitar kita.

Kunjungan Presiden Indonesia di lokasi kebakaran hutan. Foto: http://www.kaskus.co.id/thread/55f4b2249a09516c4e8b4569/bila-betul-kebakaran-hutan-ulah-mafia-asap-itu-jelas-subversif-keamanan-mana/

Kunjungan Presiden Republik Indonesia di lokasi kebakaran hutan. Foto: http://www.kaskus.co.id/thread/55f4b2249a09516c4e8b4569/bila-betul-kebakaran-hutan-ulah-mafia-asap-itu-jelas-subversif-keamanan-mana/

Meskipun hari-hari ini hujan sudah mulai deras mengguyur sebagian wilayah tanah air khususnya pada areal kebakaran hutan seperti di wilayah Sumatra dan Kalimantan, namun persoalan kabut asap tidak boleh dilupakan. Pasalnya, pembakaran hutan adalah suatu bentuk kejahatan yang serius. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur semua perbuatan melawan hukum yang berkenaan dengan hutan. Misalnya di dalam pasal 50 ayat (3) huruf (d) jelas ada pelarangan untuk membakar hutan dan ancaman hukumannya pun terang benderang yakni pidana penjara 15 tahun atau juga denda sebesar Rp. 5 miliar.

Namun, terdapat benturan kepentingan sehingga UU tentang Kehutanan yang sudah jelas tersebut justru dijungkirbalikkan oleh Perda Provinsi yakni terungkap fakta bahwa menurut Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 tahun 2010 di Kalimantan Tengah, untuk membakar hutan seluas maksimal satu hektar orang hanya perlu izin ketua RT. Demikian laporan detik.com. Sementara untuk membuka lahan dengan cara membakar hutan seluas satu sampai dua hektar, hanya cukup izin dari lurah atau kepala desa.

Menurut data yang dilaporkan dalam artikel Kompasiana, tersaji ada 3 provinsi di Pulau Sumatra yang memiliki titik api tertinggi, yaitu Jambi (152), Sumsel (129) dan Riau (93). Tingginya jumlah titik api ini cukup miris mengingat Sumatra merupakan salah satu dari 4 pulau terbesar di Indonesia dengan luas hutan yang tentunya tidak kecil, namun ada apa gerangan dengan terjadinya titik api yang muncul di tempat tersebut? Apakah hal itu merupakan murni kebakaran hutan oleh alam karena terjadi pada waktu kemarau, dengan anomali suhu yang dapat memicu dengan mudah proses terbakarnya lahan hutan, atau memang sengaja dibakar oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan mereka?

Sejauh ini pemerintah telah mendaftar 413 perusahaan yang diindikasi melakukan pembakaran hutan di lahan seluas 1,7 juta hektar. Demikian keterangan Siti Nurbaya Bakar. Perusahaan-perusahaan itu kini melalui proses klarifikasi dan verifikasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memberikan sanksi administratif kepada 10 perusahaan yang terkait pembakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatra dan Kalimantan. Dua di antaranya dicabut izin perusahaannya. Menurut Menteri LHK, langkah itu berdasarkan hasil penyelidikan satgas khusus pengawasan kebakaran lahan dan hutan sejak 22 September. Demikian keterangan yang diberikan Senin (19/10).

Pada dasarnya kebakaran hutan merupakan hal normal yang terjadi di kala musim kemarau, fenomena anomaly iklim yaitu El Nino mengakibatkan kemarau menjadi lebih panjang dan suhu menjadi lebih tinggi dari suhu rata-rata dan dampaknya kebakaran hutan dapat menjadi lebih luas. Namun, sebenarnya aktivitas manusialah yang berperan utama dalam memicu kebakaran hutan. Karena membakar hutan adalah cara yang paling murah dan efektif untuk pembukaan lahan baru sebagai lahan perkebunan. Berbagai motif yang melatar belakanginya antara lain seperti penguasaan lahan pada lahan yang tidak terkelola, konversi lahan keperkebunan, konflik lahan masyarakat dan perusahaan, pembersihan lahan untuk jual beli lahan dan lain-lain. Kemudian hal tersebut diperparah dengan penegakkan hukum yang lemah, bahkan terdapat aturan yang memperbolehkan dengan sengaja untuk membakar lahan. Efek dari El Nino semakin menjadikan kebakaran hutan sulit dikendalikan, serta dampak dari kebakaranya itu bencana kabut asap yang semakin meluas dan merusak kesehatan masyarakat.

Berdasarkan keterangan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar membenarkan, kebakaran sulit dipadamkan karena baik di Kalimantan maupun Sumatera, titik api berada pada kedalaman tiga sampai lima meter di bawah tanah. Inilah karakteristik tanah gambut, jika sudah terbakar. “Dipadamkan di atas sudah mati, ternyata di bawah itu ada rongga yang isinya bara api,” demikian diterangkan Menteri LHK di kompleks Istana Kepresidenan (Selasa, 6/10). Siti Nurbaya Bakar menambahkan, kondisi tersebut yang menyebabkan kepulan asap masih saja terjadi padahal kobaran api sudah mereda.

Kabut asap di Riau sudah berlangsung selama 18 tahun terakhir. Foto: AFP

Kabut asap di Riau sudah berlangsung selama 18 tahun terakhir. Foto: AFP

Solusi untuk menanggulangi bencana kabut asap sebenarnya telah diatur di dalam undang-undang tata pengelolaan lahan, tetapi lagi-lagi yang menjadi masalah adalah penegakkan hukum yang tebang pilih (inkonsisten) dan impoten. Inkonsistensi penegakakan hukum ini  terjadi terutama ketika pelaku pembakaran hutan mereka perusahaan-perusahaan kecil yang mungkin aktivitas pembakaran yang dilakukan tidak semasif seperti yang dilakukan oleh perusahaan besar. Hal ini seperti dikutip oleh aktivis koalisi pemantau pengrusakan hutan yang meragukan pemerintah akan tegas kepada pemilik perusahaan besar. Sudah ada 4 perusahaan yang izinnya dibekukan P.T. LIH (Riau), P.T. TPR (Sumsel), dan P.T. WAJ (Sumsel), sementara P.T. HSL (Riau) dicabut izin usahanya.

Pemerintah juga wajib mengamandemen Undang-Undang (UU) dan perda yang memperbolehkan warga membakar lahan. Menurut Nana Suparna (Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) ada 2 aturan yang harus direvisi untuk mencegah kebakaran hutan tidak terjadi lagi. Kedua aturan tersebut merujuk ke UU nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam penjelasan Pasal 69 ayat 2, dikatakan pembakaran lahan diperbolehkan dengan luas maksimal 2 hektare (ha) dan harus dikelilingi sekat bakar. Apabila pemerintah dapat dengan tegas memberikan sanksi kepada pelanggar kebijakan dan mampu merivisi semua aturan terkait pembakaran lahan, ditunjang dengan kesadaran masyarakat sekitar tentang bahaya dari dampak kebakaran hutan, mungkin bencana asap yang selalu terjadi setiap tahunnya dapat berkurang drastis. Masyarakat sekitar pun yang setiap tahun menjadi korban bencana asap diharapkan dapat segera kembali menikmati udara segar.