Image: Indonesian Film Festival

Gambar: Indonesian Film Festival

Sebelum saya memulai resensi ini, rasanya saya mesti mengakui suatu hal, yaitu saya memilih untuk menonton film The Sun, The Moon & The Hurricane bukan sembarangan atau tanpa alasan. Tema hubungan gay yang diangkat Andri Cung (penulis-sutradara) menarik perhatian saya oleh karena sangat berminatnya saya pada seluruh persoalan berkaitan dengan LGBTIQ, termasuk di Indonesia (di mana lazim disebut tanpa IQ-nya). Dulu saya pernah menulis makalah untuk salah satu mata kuliah Bahasa Indonesia dengan topik macam itu, dan sampai sekarang saya masih mengikuti berita serta diskusi di internet yang berkisar pada komunitas LGBTIQ di Indonesia.

Pokoknya, walaupun saya bukan akademis ataupun aktivis, saya mempedulikan kesejahteraan komunitas tersebut. Khususnya pada tahun 2016 ini ketika diskriminasi dan gencetan yang memprihatinkan memerak terhadap komunitas LGBTIQ di Indonesia oleh karena setumpuk pernyataan yang konyol, menyesatkan dan membahayakan yang dijeritkan beberapa politikus akhir-akhir ini. Tentu saja, sebelum hiruk-piruk itu pun tema ini sudah agak tabu, sampai jarang muncul dalam perfilman Indonesia. Walaupun diangkat, setahu saya itu hampir tidak pernah menjadi alur utama film.

Ditinjau dari segi itu, Andri Cung menunjukkan keberanian yang cukup besar dengan membuat film ini yang pertama kali ditayangkan pada tahun 2014. Patut dihargai bahwa pencipta film sanggup mengembangkan pemahaman masyarakat dan menarik empati terhadap keadaan orang-orang yang terpinggirkan dan tertindas, dengan menceritakan kisah mereka yang biasanya ditepikan. Tentunya, saya salut pada usaha penulis-sutradaranya dalam memperjuangkan cita-cita ini.

The Sun, The Moon & The Hurricane menceritakan tentang seorang pria muda dalam perjalanannya untuk mencari jati diri, cinta, kebahagiaan dan makna hidup. Ceritanya dibagikan menjadi tiga tahap yang menentukan dalam kehidupan Rain (William Tjokro), mulai dari SMA sampai dia berusia 30 tahunan. Tahap pertama mengisahkan hubungan Rain dengan Kris (Natalius Chendana), seorang pria yang belum menemukan kedamaian dalam dirinya, terutama terlihat dalam kesulitannya untuk menerima seksualitas dia sendiri, dan sikap posesifnya yang keterlaluan terhadap si Rain. Hubungan mereka diwarnai dengan kesusahan dan kejanggalan dan diselingi dengan kebahagiaan, tetapi oleh sebab kacaunya pikiran Kris, akhirnya dia menghilang, meninggalkan Rain sendirian dan patah hati.

Tahap kedua terjadi beberapa tahun kemudian, ketika Rain sudah lebih dewasa dan Kris tidak terlalu dipikirkannya lagi, sekalipun kira-kira masih terpendam dalam hati. Pada perjalanan Rain ke Thailand, dia berhubungan dengan Will (Cornelio Sunny), tetapi hanya sepintas lalu sebelum Will, yang bekerja sebagai pelacur, memupuskan harapan Rain untuk menjalankan hubungan yang bermakna dengannya.

Pada bagian terakhir, penonton dilayangkan ke Bali, di mana Kris tinggal bersama dengan istrinya (Gesata Stella), yang ternyata juga merupakan teman sekolah Kris dan Rain yang lama. Kris menyelinap kembali ke dalam kehidupan Rain, mengancam kedamaian hati Rain serta hubungan antara Kris dan istrinya.

Dilihat dari sudut pandang masyarakat setempat, film ini memang membawakan kebaraun ke dalam dunia seni Indonesia, dan alur ceritanya cukup menarik. Kalau sudut pandang diperluas sehingga mencakupi dunia perfilman internasional, saya merasa dapat dikatakan sedikit kurang kreatif. Kadang-kadang cerita terasa tawar dan berlarut-larut, khususnya pada bagian terakhir. Sebagiannya mungkin karena penulisan naskah yang masih belum matang. Penonton sering diberondong kemenungan si Rain, yang kebanyakannya penuh klise yang sentimentil tak jelas (ataukah sayalah yang tidak cukup mengapresiasi air liur basi seperti ini?).

Selain monolog-monolog yang dibisikkan si Rain, sebagian dari dialog di film ini, umpamanya di antara Rain dan Will, juga terdengar janggal dalam telinga saya. Lagipula, penulis berenak-enak mengikuti tren untuk menghamburi naskahnya dengan kalimat Bahasa Inggris, namun bagi saya tujuan dari itu kurang jelas. Dalam telinga sebagian orang mungkin terdengar keren, padahal sering kurang tepat atau kurang cocok. Yang lebih tidak masuk akal lagi, usaha untuk menginternasionalisasikan film ini melalui penggunaan bahasa asing yang diselipkan semau-maunya tanpa alasan tertentu, mungkin saja memiliki efek untuk mengasingkan tokoh-tokohnya dari budaya Indonesia. Itu bisa menghalangi pengakuan eksistensi orang LGBTIQ sebagai bagian dari budaya tersebut, walaupun kira-kira niatnya pencipta film malah sebaliknya. Mudah-mudahan hal ini dapat menjadi pertimbangan dalam proses penulisan film ke depannya.

Terlepas dari masalah-masalah yang diuraikan di atas, ada momen-momen yang lucu serta yang mampu mengaduk emosi penonton, dan bahkan ada yang membuat saya sangat terharu, misalnya saat istri Kris menangis tersendat-sendat, menyerah pada kenyataan bahwa Kris tidak dapat menemukan kebahagiaan dalam pernikahan dengan perempuan. Keadaan yang mengibakan itu juga mempunyai daya untuk membuat penonton mempertanyakan masalah budaya di baliknya.

Secara visual film ini agak kurang memuaskan, tetapi tidak sampai sangat mengurangi kenikmatan dalam menontonnya. Meskipun biaya produksi kecil, kemampuan aspek-aspek visual film untuk memperkaya cerita maupun pengalaman penonton seharusnya dimanfaatkan sebanyak-banyaknya. Upaya pembuat film dalam hal itu hanya terasakan sekali-sekali dalam The Sun, The Moon & The Hurricane, ditambah dengan beberapa masalah teknis dengan penangkapan dan penataan gambar dan audio yang juga sulit diampuni.

The Sun, The Moon & The Hurricane merupakan usaha yang mengesankan untuk menggambarkan kehidupan orang-orang yang biasanya terkesampingkan serta kejadian yang biasanya tersembunyi. Untungnya ada yang berani mengisahkannya, seperti Andri Cung, dan semoga keberaniannya tak tergoyahkan untuk melanjutkan dengan menciptakan film-film unik yang semakin bagus ke depannya.

Informasi lebih lanjut mengenai Indonesian Film Festival dapat ditemukan di sini.