AIYA Survey dilaksanakan setiap tahun untuk memberikan analisis mendalam mengenai isu-isu dan perspektif dari para pemuda yang terlibat dalam hubungan bilateral Australia-Indonesia. Laporan Akhir AIYA Survey 2016 telah dirilis minggu lalu, dan sejak itu kami sudah menikmati hasil yang berguna, namun juga terkadang mengejutkan. Salah satu temuan yang disetujui kebanyakan partisipan survei adalah bahwa:

“Perbedaan bahasa tidak dilihat sebagai terlalu besar penghalang untuk hubungan bilateral.”

Kami meminta tiga pemenang National Australia Indonesia Language Awards untuk memberi tangangan masing-masing terhadap topik tersebut.

Penny Vakalopoulos
Senior Awardee 2016

Tantangan yang paling besar dalam hubungan Australia-Indonesia adalah kesalahpahaman budaya. Perbedaan antara kedua bahasa kita merupakan halangan hanya sejauh perbedaan tersebut mencerminkan perbedaan budaya. Kalau kita memikirkan penggunaan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam perbincangan diplomatik, tidak dapat dikatakan bahwa perbedaan kedua bahasa kita menyebabkan tegangan bilateral, sebagian karena kita memiliki sumber daya yang berlimpah untuk menyediakan terjemahan yang tepat.

Walaupun demikian, pentingnya hubungan antara bahasa dan budaya tidak dapat dilupakan. Bahasa dan budaya itu terjalin, saling berhubungan, dan pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan. Maka dari itu, perbedaan bahasa sebenarnya bisa menjadi halangan dalam hubungan bilateral Australia dan Indonesia, ketika perbedaan tersebut mencerminkan nilai-nilai budaya yang berbeda. Lagipula, nilai-nilai tersebut tidak selalu bisa diterjemahkan.

Andrew Parker dari The Age pernah mengakui bahwa hubungan bisnis dan perdagangan di antara kedua negara kita adalah terbatas karena orang Australia tidak mengerti Indonesia secara kultural. Agar bisa menghadapi kekurangan tersebut, kesalahpahaman bahasa bisa dihadapi terlebih dahulu. Pembelajaran bahasa satu sama lain secara lebih mendalam akan menjembatani kedua kebudayaan kita. Mengingat mempelajari sebuah bahasa asing adalah salah satu cara yang terbaik untuk memasuki kebudayaan di mana bahasa itu berasal.

Dengan demikian, jika perbedaan bahasa dianggap melibatkan perbedaan budaya, maka halangannya untuk hubungan bilateral kita tidaklah sepele. Menurut saya, memperluas dan memperdalam kemampuan bahasa Indonesia di kalangan masyarakat Australia sangatlah diperlukan untuk memastikan bahwa hubungan Australia-Indonesia lebih berhasil pada masa depan.

Sally Andrews
Wild Card Awardee 2016

Dari pengalaman saya tinggal di Indonesia (sambil belajar di Universitas Islam Indonesia melalui dukungan ACICIS dan New Colombo Plan), tampaknya bagi saya adalah bahwa perbedaan bahasa adalah penghalang besar untuk membentuk koneksi yang bertahan lama, untuk membangun kesamaan, dan untuk jadi terlibat dalam wacana bernuansa. Signifikansi penghalang ini tidak boleh dianggap remeh. Fakta bahwa kedua pemimpin negara kita perlu berkomunikasi melalui penggunaan penerjemah pasti menghambat kemudahan proses kerjasama untuk membuat kebijakan, dan juga mengasingkan kedua pihak dalam negosiasi.

Meskipun agak mudah untuk penutur asli bahasa Inggris untuk belajar Bahasa Indonesia – dengan tata bahasa dan pengucapan yang sederhana – tetap saja sangat sulit untuk belajar bahasa Inggris. Bahasa Inggris adalah bahasa mimpi buruk, dan pengalaman saya dalam belajar bahasa Indonesia telah memberi saya rasa hormat bagi semua orang yang coba belajar bahasa Inggris.
Untuk jutaan orang Indonesia yang berjuang untuk memperoleh keterampilan bahasa Inggris, jarak dari Australia – baik geografis maupun kultural – mungkin tidak kelihatan begitu besar. Tetapi bagi mereka yang tidak memiliki akses ke pengajaran bahasa Inggris, hambatan bahasa memiliki dampak substantif pada kedekatan yang dirasakan antara bangsa-bangsa. Satu cara jarak ini bisa dikurangi adalah peningkatan jumlah penutur asli bahasa Indonesia yang ada di Australia.
Muhammad Arif Zamani
Native Speaker Awardee 2016

Saya percaya bahwa bahasa adalah instrumen yang sangat penting dalam interaksi sosial. Salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kemeredekaan Indonesia adalah Sumpah Pemuda, yang salah satu komitmennya adalah berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Languages of the World (2005) mencatat bahwa setidaknya ada 742 bahasa berbeda yang digunakan dalam keseharian masyarakat Indonesia. Bahasa-bahasa tersebut merepresentasikan perbedaan adat istiadat dari Sabang sampai Merauke. Mungkin, jika tidak ada Sumpah Pemuda kala itu, akan sangat sulit untuk mengkomunikasikan pesan dalam penguatan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sehingga tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa bahasa adalah media pemersatu, terutama dalam konteks hubungan antar budaya. Hal yang sama mungkin berlaku dalam konteks hubungan Indonesia dan Australia.

Pada saat ini, masyarakat Indonesia terbuka dengan konsep globalisasi. Dalam makna yang positif, bahasa Inggris menjadi bahasa yang tidak asing lagi sebagai bahasa internasional, terutama di kalangan anak muda dan kalangan terdidik. Dalam kerangka hubungan dua negara antara Indonesia dan Australia, bisa jadi bahasa bukanlah sebuah hambatan karena faktor globalisasi tersebut. Namun, pengalaman saya dalam berinteraksi dengan para pemuda Australia baik dalam lingkungan AIYA maupun dalam lingkungan sehari-hari, berbahasa memiliki makna yang lebih dari sekedar berkomunikasi. Ketika kawan saya bisa berbahasa Indonesia meskipun sedikit, saya merasa lebih dekat secara emosi dengan mereka. Sebaliknya, saya mempelajari beberapa sapaan khas Australia seperti “G’day mate! How’s it going?” Hal tersebut mungkin sederhana, namun mampu mencairkan batas formalitas kedua budaya.

Penggunaan bahasa inggris sebagai bahasa internasional menjadikan perbedaan bahasa bukan hambatan dalam hubungan bilateral Indonesia dan Australia. Namun, saya yakin bahwa dengan mempelajari bahasa dan budaya kedua bangsa dapat semakin mengeratkan hubungan kedua negara.

Unduh Laporan AIYA Survey 2016 di sini, dan untuk informasi yang lebih lanjut tentang NAILA silahkan kunjungi website-nya.