Foto oleh : Rumata’ Artspace

Versi Bahasa Inggris, klik di sini

Apa yang pertama kali terlintas di benak anda ketika mendengar kata Makassar?

Coto Makassar, sudah pasti. Coto Makassar merupakan makanan tradisional Makassar, Sulawesi Selatan yang terbuat dari daging dan jeroan sapi lalu diracik dengan bumbu-bumbu khusus. Saking terkenalnya, makanan ini dapat anda temukan dengan mudah hampir di seluruh Indonesia. Banyak sekali rumah makan khas Makassar yang menjadikan Coto Makassar sebagai menu andalan dan wajib untuk dihidangkan di resto mereka.

Berbicara soal Makassar bukan hanya tentang makanannya yang enak. Makassar ternyata menyimpan sejarah masa lalu tentang hubungannya dengan orang-orang suku Yolngu di Yirrkala, tepatnya di Arnhem Land di Australia.

Pada kesempatan ini, tim AIYA National berhasil mewawancarai Febrianty Hasanah seorang research assistant di Resilience Development Initiative Indonesia yang berfokus pada pengembangan masyarakat, perubahan lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan yang pada saat itu bersama Rumata’ Artspace melaksanakan sebuah project yaitu pertukaran seniman Indonesia dengan seniman Yirrkala dan pergi langsung ke lokasi tinggal orang suku Yolngu di Australia. Menurut Febri, perjalanan ke Yirkkala di Arnhem Land – Australia yang merupakan tempat tinggal suku Yolngu seperti perjalan untuk berjumpa dengan saudara lama.

Beratus tahun lalu, orang Makassar berlayar ke Arnhem Land untuk mencari teripang dan akan dijual ke orang-orang Tiongkok. Dibutuhkan waktu sekitar enam bulan bagi orang Makassar untuk menangkap dan mengolah teripang-teripang tersebut sehingga mereka anak menetap di Arnhem Land selama itu. Ketika teripang sudah selesai diolah dan arah angin telah berubah, orang Makassar akan pamit pada suku Yolngu untuk kembali. Perjalanan ini bukan merupakan perjalanan yang mudah karena ada banyak rintangan yang harus dihadapi orang Makassar termasuk menghadapi perompak atau kapal yang rusak. Menurut penuturan Febri, orang suku Yolngu percaya bahwa tanah mereka dijaga oleh Bayini yang merupakan roh seorang perempuan Makassar yang saat itu ikut berlayar bersama pencari teripang lainnya ke Arnhem Land.

Foto oleh : Rumata’ Artspace – Febrianty (ketiga dari kiri) bersama tim riset

Suku Yolngu dan orang Makassar memiliki hubungan satu sama lain karena adanya proses perdagangan. Tinggal selama enam bulan tentu saja membawa bentuk-bentuk pertukaran budaya yang terjadi secara tidak langsung. Pertukaran budaya yang terasa adalah beberapa bahasa Makassar diserap ke dalam bahasa Yolngumatha dan jumlahnya hampir seribu kata. Contohnya adalah kaluru yang dalam bahasa Yolngu maupun bahasa Makassar berarti rokok atau bala’ (Yolngu matha) / balla’ (bahasa Makassar) yang berarti rumah. Selain itu, pada saat upacara penyambutan ada beberapa ritual yang mirip dengan yang dilakukan oleh orang Makassar.

Foto oleh : Rumata’ Artspace 

Febrianty meyakini bahwa kontribusi seni dan sastra cukup besar dalam memberikan pemahaman tentang hubungan antara Indonesia dan Australia. Kegiatan art and literacy collaboration project merupakan salah satu jalan untuk menjelaskan hubungan antara kedua negara ini, baik dari segi musik, bahasa sampai dengan sejarah. Kegiatan ini dapat memberikan kesempatan bagi seniman maupun penulis untuk mendapatkan perspektif baru mengenai Indonesia dan Australia. Selain itu, menuangkan sejarah dalam musik dan tarian seperti yang dilakukan orang-orang dari suku Yolngu di Arnhem Land menjadi salah satu media yang baik untuk merawat sejarah secara turun-temurun. Hal ini diyakini oleh Febri ketika berada di Arnhem Land, orang-orang Yolngu menceritakan kisah antara mereka dan orang Makassar secara turun-menurun selama bertahun-tahun melalui lagu ataupun lukisan. Seni adalah penghantar yang paling fleksibel ketika kita berbicara tentang hubungan. Seni dapat mengemasnya menjadi sangat apik dan dapat diterima oleh berbagai pihak yang tersentuh dengannya.

Selain meneliti tentang hubungan antara Indonesia dan Australia lewat orang Makassar dan Yolngu, wanita yang akrab disapa Feb juga pernah menjadi volunteer dan panitia dalam kegiatan MIWF (Makassar International Writer Festival) yang merupakan kegiatan kepenulisan dengan mendatangkan penulis-penulis dalam maupun luar negeri dengan berbagai latar belakang pendidikan.

Foto oleh : Makassar International Writer’s Festival

Kegiatan ini merupakan festival literasi berskala internasional di Indonesia Timur. Lewat wawancara ini juga Febri membagikan kisahnya ketika bertemu dengan penulis favoritnya yaitu Avianti Armand. “Saya deg-degan bertemu dengannya dan tak saya sangka obrolan kami mengalir. Tangan saya dingin dan butir-butir keringat saya mulai muncul di dahi karena grogi. Saya tak bisa menghilangkan senyum dari wajah saya saking bahagianya setelah bertemu dengan dia malam itu” ungkap Febry.

Sejak november 2018, Feb juga bergabung menjadi volunteer dalam International Organization for Migration (IOM) yang berfokus untuk memfasilitasi minat dan bakat pada refugee khusunya anak-anak dan pemuda yang tinggal di refugee shelter di Makassar

Foto oleh : Ali Golestanjoo – Febrianty bersama teman-teman Creative Placemaking Project

Creative Placemaking Project adalah penelitian yang dilakukan oleh Feb dan tim yang tujuannya untuk mempelajari bagaimana hubungan yang terbentuk antara anak muda Indonesia dari Makassar (local youth) dengan youth refugee. Proyek penelitian yang direncanakan akan selesai pada November 2019 ini menyasar anak-anak muda yang berusia 14 – 25 tahun yang tinggal satu tempat dengan refugee di Makassar. Rrefugees ini merupakan pencari suaka yang lebih dari tiga tahun menetap di Makassar. Kebanyakan dari mereka berasal dari Afganistan – karena konflik berkepanjangan di negaranya.

Foto oleh : Ali Golestanjoo 

Sejauh ini, berdasarkan hasil penelitian karena penyebaran refugee ini belum merata sehingga belum banyak orang lokal atau masyarakat setempat yang mengetahui kehadiran mereka selain lingkungan tempat tinggal, komunitas dan pemerintahan. Menggunakan metode penelitian asal Jepang yaitu kikigaki dan machiaruki ada sekitar 13 orang youth refugees dan local youth sebanyak 18 orang yang setuju untuk bergabung dalam penelitian yang dilakuan. Hasil penelitian sementara menunjukkan belum begitu banyak interaksi yang dilakukan namun youth refugees sudah mulai menunjukkan keterbukaan ketika berada dalam satu lingkungan yang sama dengan local youth.

Menjadi volunteer dan ikut terlibat dalam interaksi yang dibentuk oleh youth refugees dan local youth membawa sebuah cara pandang yang baru bagi Febri. Selain ingin mencari tahu bagaimana para refugees bertahan hidup sementara tidak dapat bekerja di usia produktif, lewat kegiatan penelitian ini menurutnya ia akan menjadi lebih obektif tanpa memandang karakter seseorang berdasarkan kewarganegaraannya.