Majua jua!

Sejatinya majua jua, seruan warga Batak Karo dari Sumatera Utara, mungkin belum lazim terdengar di telinga sebagian masyarakat Indonesia. Namun bagi sutradara Rako Prijanto nuansa keberagaman tersebut adalah jiwa dari film ‘3 Nafas Likas’ dimana sosok pahlawan nasional kelahiran Batak Karo, Djamin Gintings (diperankan oleh Vino G. Bastian) yang diceritakan dari sudut pandang istrinya, Likas Tarigan Gintings (yang diperankan bergantian oleh Tissa Biani Azzahra, Atiqah Hasiholan dan Tutie Kirana).

3 Nafas Likas ditayangkan pada malam pertama IFF 2015. Foto: IFF Website.

3 Nafas Likas ditayangkan pada malam pertama IFF 2015. Foto: IFF Website.

Kekentalan keberanian visi sang sutradara terasa dari penataan film. Penonton secara terus menerus dimanjakan oleh keindahan alam melalui teknik pengambilan gambar yang sangat apik tatanannya, membawa kita seakan hadir menjamah Bumi Karo dan menggerak kerinduan hati saya untuk segera kembali untuk menjelajahi sudut berbeda Tanah Air.

Dengan latar belakang tersebut Likas muncul di antara keindahan kampung halaman Sibolangit, mencuri perhatian para penonton dengan segala tingkah jagoan dan impiannya untuk menjadi guru. Pertentangan antara Likas dan Nande-nya adalah titik pertama dimana kita sebagai penonton diundang untuk menghayati dunia Likas: perjuangan seorang gadis menjadi seorang dewasa dalam budaya patriarki yang sangat kental dalam budaya Batak dan perjuangan sebuah keluarga dalam masa hangatnya perjuangan kemerdekaan yang marak diwarnai oleh kisah kehidupan yang bahagia maupun tragis.

Ketika Likas bertemu Djamin dan memutuskan untuk hidup bersama pada saat pergejolakan perang menunjukkan betapa tegarnya Likas sebagai perempuan yang seringkali berjuang sendirian ditengah keadaan yang sangat tragis. Ketika keadaan semakin membaik, peran Likas-pun terbenam di balik sinar Djamin yang sedang menjadi sorotan menunjukkan bahwa idealisme Likas pun bisa luntur tergerus waktu. Diceritakan bahwa meskipun mempertahankan idealisme bukan hal yang utama lagi baginya sekarang, Likas masih tetap bisa terlihat tegar walaupun pada akhirnya tiga sosok yang ia jadikan alasan untuk untuk tetap bernafas selama ini pada akhirnya meninggalkannya dirinya satu per satu – dimulai dari ibunya, abangnya Jore dan akhirnya suami tercinta Djamin sendiri.

Film ini adalah sebuah cerita tentang Likas, bukan semata-mata tentang sosok Djamin yang dilihat dari kacamata istrinya. Pentingnya peran wanita dalam segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya peran mereka dibalik kesuksesan para pria yang sesungguhnya menjadi premis utama film ini memang terlihat kontradiktif dengan apa yang terjadi dalam realita kehidupan sehari-hari dimana wanita diperlakukan secara marjinal dari segi sosial, politik dan ekonomi. Tetapi nyatanya memang cerita yang diangkat dari perspektif perempuan mampu mendominasi layar lebar Indonesia selama ini seperti yang disampaikan Rako Prijanto saat menjadi pembicara Kelas Film Indonesia yang juga termasuk bagian dari rangkaian acara IFF 2015.

Industri perfilman Indonesia cenderung mengusung tema nasionalisme nan heroik dengan mengangkat riwayat hidup tokoh nasional sebagai sumber inspirasi. Keputusan Rako Prijanto untuk mengangkat sosok Djamin Gintings patut dihargai karena beliau menceritakan kisah pahlawan nasional yang tidak diketahui kebanyakan masyarakat awam dari sudut pandang sang perempuan. Dalam cerita tersebut kita diajak merenungkan kembali tentang kesadaran sosial akan peran wanita dalam sejarah bangsa Indonesia, terutama bagi mereka seperti Likas Gintings yang telah memberikan nafas kehidupan kisah Sang Ibu Pertiwi dari balik layar.

Disunting: Aris Huang