Australia akan mengadakan Pemilihan Umum pada tanggal 2 Juli 2016. Pemilu kali ini berbeda dengan lazimnya pemilu yang diselenggarakan tiga tahun sekali. Pemilu bulan Juli yang akan datang terjadi karena adanya satu faktor pemicu yang menyebabkan perlu dilakukannya pemilu secara konstitusional. Pemilu kali ini disebabkan karena ketidaksepahaman di dua lembaga perwakilan di Australia, House of Representative dan Senat, yang dikenal dengan Double Dissolution.

Sistem pemerintahan Australia terdiri dari dua kamar, House of Representatives (Parlemen) yang merupakan perwakilan partai dalam pemilu, terdiri dari mayoritas  dua partai politik besar di Australia, Partai Buruh dan Partai Liberal. Partai pemenang pemilu memiliki jumlah kursi paling besar di parlemen dan berada dalam posisi Government in OfficeGovernment in Office diisi oleh para menteri yang duduk di pemerintahan dan dipimpin oleh Pemimpin Partai yang sekaligus menjadi Perdana Menteri. Sebaliknya pihak oposisi dipimpin oleh Ketua Partai yang bertindak sebagai Leader of the Opposition, bersama dengan para menteri bayangan (shadow ministers).

Susunan Senat Australia. Gambar: The Guardian

Kompisisi Senat saat ini. Gambar: The Sydney Morning Herald

Dalam tata kelola sistem pemerintahan Australia tugas parlemen adalah mensahkan undang-undang, tentu saja undang-undang yang dibuat dan kemudian diberlakukan berkaitan dengan kepentingan rakyat Australia. Termasuk di dalamnya budget atau Rencana Anggaran Belanja Negara, yang disampaikan oleh pemerintah yang berkuasa di parlemen untuk disetujui bersama. Namun demikian dalam sejarah politik pemerintahan Australia, tidak semua undang-undang yang diajukan pemerintah lewat parlemen (House of Representatives) selalu disetujui oleh Senat.  Jika dua kamar dalam parlemen tidak menetujui satu rancangan undang-undang maka terjadilah double dissolution, dua kamar dalam parlemen dibekukan, sehingga pemerintah (Perdana Menteri) kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Gubernur Jendral untuk diadakan satu pemilihan umum atas dasar double dissolution.

Dengan kata lain, undang-undang atau budget yang tidak disetujui House of Representatives dan Senat ini kemudian diserahkan kepada rakyat Australia untuk menentukan pilihannya dalam Pemilu. Pemilu double dissolution ini sudah terjadi enam kali sejak 1914, 1951, 1974, 1975, 1983, 1987 dan yang ketujuh akan dilaksanakan pada tanggal 2 Juli yang akan datang. Pemilu Double Dissolution yang paling terkenal dalam sejarah politik pemerintahan Australia adalah yang terjadi tahun 1975, Perdana Menteri Whitlam (Partai Buruh) dipecat oleh Gubernur Jendral, Sir John Kerr, dan menunjuk pemerintahan sementara (caretaker) Malcolm Fraser sebagai Perdana Menteri (Partali Liberal).  Peristiwa ini dikenal sebagai the Dismissal.

Pemilihan Umum dijadwalkan pada tanggal 2 Juli 2016, dan merupakan pemilu double dissolution, seperti yang dinyatakan oleh Perdana Menteri Malcolm Turnbull. Penyebab lahirnya double dissolution kali ini adalah ditolaknya reformasi Australian Building and Contruction Commission (ABCC) oleh senat sebanyak dua kali. Perkembangan ini akan diserahkan oleh Turnbull kepada Gubernur Jendral, Sir Peter Cosgrove, untuk membekukan dua badan di parlemen dan segera menyelenggarakan Pemilihan Umum.

“Are we headed for a double dissolution election?” Gambar: The Sydney Morning Herald

Komisi ini (Australian Building and Contruction Commission) semacam badan pengawas industri konstruksi yang dibentuk pada masa Pemerintahan Koalisi Liberal National, John Howard pada tahun 2005. Tugasnya mengawasi segala hal yang berkaitan dengan hukum di tempat bekerja seperti pembatasan atau aksi industrial yang tidak berdasar hukum dan ancaman industrial lainya. Pada 2012 Komisi ini kemudian berubah namanya menjadi Fair Work Building and Construction (FWBC), yang lebih pro serikat buruh, pada masa Pemerintah Buruh menang Pemilu. Kekuatannya dari segi pengawasan berkurang sejak berubah namanya menjadi  Fair Work Building and Construction (FWBC).

Pangkal permasalahannya adalah karena penolakan serikat pekerja atas apa yang dikatakan sebagai “kekuatan memaksa” (coercive power), yang memberikan hak kepada komisioner untuk melarang seseorang menghadiri wawancara (interviews) dan penghapusan hak untuk tidak bicara (the right to silence), pelanggaran atas aturan ini dengan ancaman penjara. Selain juga ada keberatan atas beberapa aturan ABCC dengan sanksi penalti yang besar yang hanya diberlakukan pada serikat pekerja atau buruh konstruksi. Serikat Buruh takut ABCC akan semakin memberatkan serikat buruh untuk memperjuangkan kesehatan dan keselamatan kerja, dengan merujuk pada jumlah kematian yang tinggi di bidang konstruksi dalam 10 tahun di bawah pemerintahan John Howard.

Jika disimpulkan, serikat buruh lebih mendukung FWBC yang lebih ramah terhadap mereka (union friendly) dibandingkan dengan ABCC yang dianggap “represif” dan “mengabaikan” hak buruh atau serikat pekerja.

Pemerintah Koalisi Liberal ingin mengembalikan ABCC kembali menggantikan FWBC bentukan Pemerintahan Buruh sebelumnya. Alasan utamanya untuk melanjutkan memperkuat aturan yang akan menghindari pelanggaran sipil dan tindak kriminal dengan semakin kuatnya serikat buruh Konstruksi, Kehutanan, dan Pertambangan, yang dikenal reputasinya yang keras dalam aksi-aksi industrial. Pemerintah juga mengemukakan alasan lain yakni demi meningkatkan produktivitas untuk mengembalikan ABCC, dengan mengacu pada kenyataan bahwa sepanjang tahun 2005 sampai 2012, aksi industrial dalam bidang konstruksi turun drastis menjadi separuh.

Bagaimanakah kelanjutan pro kontra dihidupkannya kembali ABCC menggantikan FWBC akan kita saksikan bersama kelak dengan hasil pemilihan umum yang akan datang. Koalisi Partai Liberal National atau Partai Buruh yang akan menang amat menentukan kelangsungan komisi tersebut. Demikianlah mekanisme demokrasi yang berjalan sejak Federasi 1901 di Australia yang tujuan utamanya adalah kepentingan masyarakat Australia sebagai pemilih dan yang diwakili dalam parlemen dan pemerintahan.

Bapak Kresno Brahmantyo adalah Dosen Senior Sejarah dan Politik Australia, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.