Australia beruntung perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia telah rampung sebelum krisis COVID-19 melanda, karena kalau tidak, Australia tidak akan pernah bisa mendapatkan konsesi yang menguntungkan untuk mengakses pasar Indonesia yang terus berkembang. Mereka yang mendapatkan manfaat tersebut adalah sejumlah perusahaan Australia yang ingin mengekspor produk susu dan berinvestasi ke layanan yang berkaitan dengan pendidikan tinggi, pertambangan, perawatan kesehatan, pariwisata, telekomunikasi, energi, transportasi dan konstruksi.

Saya ragu Indonesia akan memberikan akses terhadap pasar yang besar (jika hal ini menjadi bagian dari negosiasi saat ini), karena target pertumbuhan PDB Indonesia yang luar biasa untuk tahun 2019 telah diturunkan menjadi 4,8%. Pada saat yang sama, ekonomi Australia diperkirakan akan jatuh ke dalam resesi yang dalam (setara dengan -6,8%) untuk pertama kalinya dalam hampir 30 tahun. Hari ini, Australia harus mengalah terhadap pada isu-isu yang sensitif secara politik di Indonesia, seperti akses pasar tenaga kerja dan imigrasi ke Australia, serta rendahnya perlindungan untuk investasi modal ke Indonesia.

Namun, terlepas bagaimana kesepakatan dagang baru ini menguntungkan Australia, semakin lama krisis ekonomi pasca-COVID-19 berlangsung, maka Indonesia akan semakin diuntungkan lewat kemitraan kemitraan ekonomi tersebut.

Namun demikian, kesepakatan perdagangan bebas itu juga menandai era baru hubungan Australia-Indonesia yang lebih erat, sebuah penanda positif di kawasan Indo-Pasifik yang dinamis serta cenderung tidak stabil karena berada di pusaran episentrum perang dagang antara AS-Tiongkok. Hal itu menunjukkan pergeseran bahwa kebijakan yang tadinya hanya meliputi aspek perdagangan kini berubah ke arah kebijakan keamanan.Sejalan dengan kepentingan bersama mereka terhadap Amerika Serikat, Australia dan Indonesia kini memiliki target untuk mempererat hubungan bilateral dengan negara kekuatan menengah lainnya yang ingin melindungi posisi  dari kekuatan besar di kawasan Samudra Hindia dan Pasifik, terlebih fakta bahwa pandemi COVID-19 secara dramatis telah meningkatkan pergerakan persaingan geopolitik AS-Tiongkok untuk mendominasi kawasan Asia.

Strategi Donald Trump untuk menahan kebangkitan China sebagai negara adikuasa global menunjukkan bahwa sekuritisasi perdagangan dan investasi Indo-Pasifik siap untuk mengimbangi mundurnya geopolitik AS dari kekuatan inti di Asia.

Di satu sisi, hal ini dapat merusak hubungan perdagangan dan investasi Australia dan Indonesia dengan Tiongkok dan mitra terdekatnya di Asia; namun disisi lain, hal tersebut dapat membentengi kepentingan keamanan dan ekonomi Australia dan Indonesia dari bahaya kemunduran strategis AS dari inti Asia dan ke dalam lingkaran Indo-Pasifik.

Dengan basis ekonomi murni dan serta asumsi bahwa rute perdagangan geopolitik dengan Tiongkok akan tetap stabil dalam periode jangka panjang pasca-pandemi, Australia dan Indonesia berada di posisi yang tepat untuk mengisi kesenjangan yang ditinggalkan oleh hubungan perdagangan AS-Tiongkok yang hancur, demikian halnya dengan keuntungan komersial besar yang tercipta akibat pengalihan perdagangan Tiongkok-Amerika, seperti yang mampu dilakukan Vietnam dalam dua tahun terakhir.Tetapi Australia dan Indonesia dapat melakukannya hanya dengan mengatasi tantangan pada sistem multilateralisme WTO yang mulai usang dan dengan mendorong hubungan perdagangan dan investasi bilateral yang lebih strategis dan mengingat potensi dinamika geopolitik pasca-COVID19.

Giovanni Di Lieto Praktisi dan Pengajar Monash University Giovanni merupakan seorang pengajar atau dosen hukum perdagangan internasional dalam program Sarjana Bisnis Internasional dan terlibat dalam analisis pakar tentang geopolitik perdagangan dan investasi untuk media, industri, dan outlet Pemerintah. Karir profesionalnya berkembang sebagai praktisi hukum komersial  di  Italia,  dan  kemudian  sebagai  spesialis rantai nilai global di AS, Eropa, dan China. Giovanni telah menerbitkan dua buku, yang terakhir adalah International Trade Law oleh The Federation Press. Buku pertamanya, Migrant Labour Law: Unfolding Justice at Work for Migrants, dianugerahi Hadiah Holt perdana untuk naskah hukum terbaik oleh The Federation Press.