Sumber : Pinterest

Versi Bahasa Inggris, klik di sini

Ditulis oleh dr. Novie Manurung – AIYA Jawa Barat
Edited by Meylisa Sahan & Dinda Ichsani  – AIYA National’s Blog Editor

Hai, namaku Novie Manurung! Pasti sudah diketahui bahwa saya berasal dari suku Batak Toba, Sumatera Utara. Kedua orang tua saya pun berasal dari Sumatera Utara, marga Manurung menikah dengan boru Napitupulu, kehidupan keluarga kami sarat dengan nilai-nilai kebudayaan batak baik dari nilai- nilai kehidupan seperti bekerja keras, jujur, dan sangat menghormati silsilah keluarga, juga dengan acara-acara kebudayaan suku Batak.  Meski saya lahir dan besar dengan latar belakang seperti itu, saya sangat bersyukur bahwa hidup saya diwarnai dengan berbagai macam budaya lain di Indonesia.

 I really love Indonesia! Saya ingat ketika masih di taman kanak-kanak (TK), saya mengikuti lomba busana tradisional dan saya memakai baju adat Jawa Tengah. Kecintaan dan keingintahuan terhadap budaya Indonesia yang lain semakin memuncak ketika saya keluar dari Jakarta dan melanjutkan kuliah S1 di Jatinangor, Jawa Barat, suatu tempat yang kental dengan budaya Sunda. Tidak berhenti di situ, saya bertemu dengan teman-teman baru yang berasal dari seluruh Indonesia, begitu beragam, begitu hangat, dan begitu indah.

Di akhir tahun 2007, jalan pun terbuka, saya mendapat kesempatan langka untuk bertolak pergi ke bagian paling timur Indonesia. Kesempatan untuk menjadi guru sukarelawan di SD. Anak Panah yang dirintis oleh Ev. Daniel Alexander, bertempat di kabupaten Nabire, Papua. Begitu sampai di sana, saya pikir akan susah beradaptasi atau disebut “culture shock”, tapi ternyata tidak. Meski hanya beberapa orang yang warna kulitnya sama seperti saya, namun saya diterima dengan hangat dan dengan tangan terbuka. Telinga saya diperdengarkan oleh logat baru, menggelitik rasa ingin mencoba menirukan, kadang saya tertawa sendiri karena terdengar “aneh” di telinga saya.

Satu bulan tanpa terasa berlalu, saya pun harus kembali untuk melanjutkan studi Koas (cooperative assistant) saya di Bandung. Namun tidak disangka-sangka perjalanan singkat itu merubah hidup saya. Pengalaman hidup yang menjadi landasan terbang mimpi saya berikutnya.

Setelah menyelesaikan program studi saya, saya langsung menetapkan hati, saya harus pergi ke bagian timur Indonesia yang lain, saya ingin lihat kebudayaan Indonesia lebih banyak lagi. Saya pun mendaftarkan diri menjadi dokter yang bekerja di pedalaman Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) dan Tuhan pun menjawab doa saya.

Di awal tahun 2010 bab kehidupan saya yang baru pun dimulai, saya dipanggil menjadi dokter PTT di kabupaten Ende dan kabupaten Nagekeo, Flores, NTT selama 3 tahun berikutnya.  Menjadi dokter  yang tinggal berdampingan dengan masyarakat asli dari NTT membuat saya “tenggelam” dalam kebudayaan asli di sana, semua menjadi nyata. Melihat cara mereka berbicara, berperilaku, memakai baju tradisional sebagai baju sehari-hari, melihat mereka bekerja, mengikuti upacara-upacara adat ataupun perayaan lainnya menjadi makanan saya sehari-hari. Respon yang timbul pun lebih dari yang saya harapkan, saya pikir saya hanya akan menyukainya, namun tidak, saya jatuh cinta. Ya, saya jatuh cinta dengan keragaman budaya suku-suku di Indonesia, saya kagum bagaimana suku-suku ini sangat berbeda satu sama lain namun menjadi satu di dalam satu tanah ibu pertiwi bernama  Indonesia.

Apakah saya hanya mengalami cerita yang indah-indah nya saja? Tentu tidak, saya juga mengalami konflik karena pemahaman yang kurang tepat tentang budaya yang ada, namun semua itu terselesaikan dengan kerendahan hati dan kasih persaudaraan.

Apa sih yang mau saya ceritakan di sini? Setelah membaca artikel penjelasan dari Prof Herawati Supolo Sudoyo di tahun 2019 tentang siapa sih orang pribumi Indonesia, saya menjadi paham bahwa tidak ada orang pribumi 100% asli di Indonesia karena semua kita memiliki campuran gen yang berbeda-beda, namun itulah Indonesia. Saya semakin menangkap jelas makna dalam dari kalimat yang tertulis di lambang negara kita “Bhinneka Tunggal Ika” berbeda-beda namun satu. Perbedaan itu akan selalu ada, tapi bagaimana kita menyikapinya, sama seperti memperlakukan saudara kandung kita sendiri meski karakternya berbeda ataupun kadang membuat kesalahan yang membuat kita jengkel. Namun kesadaran bahwa “saya tetap saudara sedarahnya”, akan menimbulkan kekuatan mengusahakan tali persaudaraan itu tetap terjalin apapun perbedaannya. Saya pikir kesadaran yang sama bisa menjadi dasar bagaimana kita melihat saudara-saudara kita yang berasal dari suku yang berbeda. Memiliki pikiran yang terbuka, hati yang luas, dan berfokus kepada persatuan, akan membuat perbedaan menjadi perekat kebersamaan. Toh suara musik terdengar indah dan penuh dengan harmoni ketika diciptakan dari untaian nada-nada yang berbeda bukan?

Persatuan ini yang akan membuat bangsa kita kuat, persatuan ini yang akan membuat kita bisa semakin luas terjun di kancah Internasional sebesar apapun tantangan global yang ada.

Bagi saya itulah makna dari keanekaragaman. Berbeda tapi satu, berbeda tapi saling mengasihi. Seperti kalimat mutiara yang sangat saya sukai, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri dan tidak ada yang lebih besar dari kasih.