Versi Bahasa Inggris (original), klik di sini.

Ditulis oleh Afraa Akira Amadera – Juara 1 AIYA Jakarta Writing Competition
Diterjemahkan oleh  Gabriella Pasya – AIYA National Content Translator

Dahulu kala ada seorang gadis yang mudah dipengaruhi, takut untuk mengungkapkan pendapatnya. Berpikir di luar “kotak” tidak pernah menjadi pertimbangan, dia dirantai di dalam kotak yang sempit dan terbatas ini. Dia tidak lebih dari kanvas kosong. Dia membentuk dirinya menjadi bentuk apapun yang diinginkan siapapun, berputar dan berputar seolah-olah dia ada agar sesuai dengan keinginan semua orang, meskipun mencapai hal itu seperti tidak mungkin. 

“Apa yang kamu suka?” 

“Apa saja, kurasa.” 

“Apa hobimu?” 

“Apa pun itu menyenangkan, kurasa.” 

“Apa tujuan masa depanmu?” 

“Apa saja pun boleh, kurasa.” 

Dia berjuang untuk menemukan dirinya sendiri; dia tidak pernah memiliki minat atau hasrat, dan dia terlalu takut untuk menemukannya. Gadis ini tetap seperti itu selama bertahun-tahun sampai sesuatu, lebih tepatnya seseorang, mengubahnya selamanya. Orang ini seperti seorang pelukis, perlahan-lahan melukis sebuah karya yang tiada duanya, semarak dalam keindahan dan karakternya, di atas kanvas tak bernyawa itu. Pahlawan bagi gadis yang mengubah hidupnya. Pelukis tersebut adalah Ms. B, guru sejarah saya, dan kanvas kosong itu, Anda dapat menebaknya, adalah saya.

Saya adalah seorang imigran dari Indonesia, menetap di Brisbane, Australia selama beberapa tahun sambil menunggu ayah saya menyelesaikan studinya. Untuk pertama kalinya di negeri asing ini, saya dibuat untuk berpikir sendiri untuk menemukan solusi saya sendiri. Meski begitu, saya takut. Kalau saya tidak membaca jawaban yang tertulis di suatu tempat, karena kecemasan saya tidak akan pernah bisa memunculkan jawaban saya sendiri. Pemikiran bahwa saya seharusnya tidak menjawab kecuali saya tahu jawabannya secara pasti, begitu tertanam di otak saya, sampai pada titik di mana saya lebih suka tidak mengatakan apa-apa. Semua yang saya lakukan baik secara harfiah maupun figuratif  ‘sesuai buku’.

Hal ini terus berlangsung sampai saya mencapai tahun ke 9 ketika Ms. B ditugaskan ke kelas kami untuk mengajari kami sejarah. Saya menyadari bahwa sesuatu dalam diri saya mulai bergejolak tumbuh. Saya ingat pertemuan pertama kami; dia meninggalkan kesan yang kuat. Dia luar biasa. Saya melihat kepribadiannya yang bersemangat dan berani dan saya menginginkannya. “Kalau saja saya bisa seperti itu,” saya sering memergoki diri berpikir.  Saya tidak pernah sekalipun menimbang kemungkinan bahwa itu bisa menjadi kenyataan suatu hari nanti. Ms. B mengajari kami dengan semangat yang menunjukkan bahwa dia peduli pada murid-muridnya. Dia akan sangat sabar menunggu sampai setiap siswa membagikan sebagian pemikiran mereka tentang setiap topik yang kami diskusikan, memastikan tidak ada yang memiliki kata-kata yang tidak terucapkan. Dia memiliki standar yang tinggi tetapi memastikan semua orang mencapainya. Melalui inilah saya perlahan tapi pasti mulai berpikir untuk diri saya sendiri, mengembangkan nilai dan pandangan saya dan benar-benar mulai menjadi saya.

Sekitar pertengahan semester kedua, beliau didiagnosis dengan melanoma, sejenis kanker kulit yang umum di Australia. Dia menyampaikan kabar itu kepada kami sewaktu kelas, kami semua patah hati tetapi dia mempertahankan keberanian dan kepositifan melalui semuanya. Selama perawatan di mana dia harus menghilangkan sebagian kulit di wajahnya, dia masih muncul di semua kelas kami. Dia mengajari kami dengan semangat yang sama, membuat lelucon untuk menjaga suasana kelas kami yang hangat dan ramah. Di sisi lain, ketika membahas topik yang serius dia tidak akan pernah ragu untuk tetap mentah, tidak pernah menahan kebenaran apapun sehingga kami bisa mendapatkan pemahaman terbaik tentang topik tersebut. Keberanian dan kemampuan untuk tetap bertahan tanpa ketidakpastian adalah hal yang sangat saya sukai darinya.

Beberapa tahun kemudian, setelah sekarang kembali ke Indonesia dan  kehilangan koneksi dengan Ms.B, hasratnya masih bergema di dalam diri saya. Saya mulai secara teratur mengambil tantangan seperti berdebat, dan menjadi cukup berani untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin, sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiran saya beberapa tahun yang lalu. Diri saya sekarang adalah berkat beliau, kebaikan dan ketekunannya tidak akan pernah dilupakan. Dia memberiku suaraku, hadiah tak ternilai yang tidak pernah bisa saya balas. Semangatku untuk Sejarah dan memperjuangkan apa yang benar terwujud melalui dia, saya merasa sekarang, untuk pertama kalinya, bisa melihat kemana arah masa depan saya. Saya tahu tujuan saya, saya tahu ingin menjadi apa, saya tahu diri saya sendiri. Itulah mengapa saya sepenuhnya percaya bahwa Ms. B benar-benar pahlawan Australia saya.